Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terjemah Fathul Muin


Nama kitab: Terjemah Fathul Muin

Judul asal: Fathul Muin bi Syarhi Qurratil Ain bi Muhimmatid Din ( فتح المعين بشرح قرة العين بمهمات الدين)

Penulis: Ahmad bin Abdul Aziz bin Zainuddin bin Ali bin Ahmad Al-Mabari Al-Malibari Al-Hindi (أحمد بن عبد العزيز بن زين الدين بن علي بن أحمد المعبري المليباري الهندي)

Penerjemah: Abul Hiyadh

Bidang studi: Fikih madzhab Syafi'i

PROFIL KITAB FATHUL MUIN

Kitab Fathul Mu'in merupakan kitab penjelas atau kitab syarah terhadap kitab yang masih merupakan karya dari Syeikh Zainuddin Abdul Aziz , yakni kitab Qurratul 'Ain Fii Muhimmati Dien. Berdasarkan penuturan Syeikh Zainuddin dalam khutbah kitabnya, beliau menyusun kitab ini semata-mata mengaharap ridlo Allah demi kemanfaatan orang banyak. Dengan keinginan semoga kitab ini menjadi sebab beliau mendaptkan tempat kembali yang layak diakhirat kelak, yakni surga firdaus-Nya.

Selain itu, beliau juga menuturkan bahwasanya kitab ini merupakan kitab yang isinya merupakan kajian-kajian pilihan yang merujuk pada kitab-kitab pegangan buah karya ulama-ulama besar. Diantaranya adalah dari kitab-kitab karangan guru beliau yakni Ibnu Hajar Al-Haitamy, juga kitab-kitab karangan Wajhuddin Abdurohman Bin Ziyad Al-Zubaidi, Syaikhul Islam Zakariya Al-Anshory, Imam Ahmad Al-MujZaddi Al-Zubaidi, Serta dari ulama lainnya yang merupakan Muhaqqiq Mutaakhirin.

PROFIL PENULIS (AL-MALIBARI)

Nama lengkap: Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul ‘Aziz bin Zainuddin bn ‘Ali Al Malibari Al Fannani Asy Syafi’i,

Nama lain: Makhdum Thangal, Zainuddin Al-Tsani.

Tempat Lahir: Malibar (Malabar), India Selatan.

Tahun kelahiran: tidak diketahui.

Wafat: di Funnan/Ponani, India pada tahun 972 H / 987 H/1579 M.

Karya tulis:

  • Kitab Al-Isti’dad lil Maut Wasu’al Qubur (Aqidah).
  • Kitab Qurratul ‘Ain Bimuhimmatid Diin (fiqih; kitab matan Fathul Mu’in).
  • Kitab Fathul Mu‘in fi Syarh Qurrah al-‘Ayn (fiqih; dikomentari oleh Syaikh Sayyid Muhammad Syatho’ Ad Dimyati (W. 1310 H) dengan nama Kitab Hasyiyah I’anatuth Thalibin).
  • Kitab Irsyadul ‘Ibad ila Sabilir Rasyaad (masalah fiqih disertai nasehat & hikayat).
  • Kitab Tuhfatul Muj­tahidin fi Ba‘adh Akhbar Al Burtu­ghalin (sejarah).

BAB SHALAT


بَابُ الصَّلَاةِ

هِيَ شَرْعًا: أَقْوَالٌ وَ أَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ، مُفْتَتَحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتَمَةٌ بِالتَّسْلِيْمِ وَ سُمِّيَتْ بِذلِكَ لِاشْتِمَالِهَا عَلَى الصَّلَاةِ لُغَةً، وَ هِيَ الدُّعَاءُ. وَ الْمَفْرُوْضَاتُ الْعَيْنِيَّةُ خَمْسٌ فِيْ كُلِّ يَوْمٍ وَ لَيْلَةٍ، مَعْلُوْمَةٌ مِنَ الدِّيْنِ بِالضَّرُوْرَةِ، فَيَكْفُرُ جَاحِدُهَا. وَ لَمْ تَجْتَمِعْ هذِهِ الْخَمْسُ لِغَيْرِ نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ (ص)، وَ فُرِضَتْ لَيْلَةَ الْإِسْرَاءِ بَعْدَ النُّبُوَّةِ بِعَشْرِ سِنِيْنَ وَ ثَلَاثَةِ أَشْهُرٍ، لَيْلَةَ سَبْعٍ وَ عِشْرِيْنَ مِنْ رَجَبَ، وَ لَمْ تَجِبْ صُبْحَ يَوْمِ تِلْكَ اللَّيْلَةِ لِعَدَمِ الْعِلْمِ بِكَيْفِيَّتِهَا.

(إِنَّمَا تَجِبُ الْمَكْتُوْبَةُ) أَيِ الصَّلَوَاتُ الْخَمْسُ (عَلَى) كُلِّ (مُسْلِمٍ مُكَلَّفٍ) أَيْ بَالِغٍ عَاقِلٍ، ذَكَرٍ أَوْ غَيْرِهِ، (طَاهِرٍ) فَلَا تَجِبُ عَلَى كَافِرٍ أَصْلِيٍّ وَ صَبِيٍّ وَ مَجْنُوْنٍ وَ مُغْمًى عَلَيْهِ وَ سَكْرَانَ بِلَا تَعَدٍّ، لِعَدَمِ تَكْلِيْفِهِمْ، وَ لَا عَلَى حَائِضٍ وَ نُفَسَاءَ لِعَدَمِ صِحَّتِهَا مِنْهُمَا، وَ لَا قَضَاءَ عَلَيْهِمَا. بَلْ تَجِبُ عَلَى مُرْتَدٍّ وَ مُتَعَدٍّ بِسُكْرٍ.

(وَ يُقْتَلُ) أَيْ (الْمُسْلِمُ) الْمُكَلَّفُ الطَّاهِرُ حَدًّا بِضَرْبِ عُنُقِهِ (إِنْ أَخْرَجَهَا) أَيِ الْمَكْتُوْبَةَ، عَامِدًا (عَنْ وَقْتِ جَمْعٍ) لَهَا، إِنْ كَانَ كَسَلًا مَعَ اعْتِقَادِ وُجُوْبِهَا (إِنْ لَمْ يَتُبْ) بَعْدَ الْاِسْتِتَابَةِ، وَ عَلَى نَدْبِ الْاِسْتِتَابَةِ لَا يَضْمَنُ مَنْ قَتَلَهُ قَبْلَ التَّوْبَةِ لكِنَّهُ يَأْثَمُ. وَ يُقْتَلُ كُفْرًا إِنْ تَرَكَهَا جَاحِدًا وُجُوْبَهَا، فَلَا يُغْسَلُ وَ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ.

(وَ يُبَادِرُ) مَنْ مَرَّ (بِفَائِتٍ) وُجُوْبًا، إِنْ فَاتَ بِلَا عُذْرٍ، فَيَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ فَوْرًا. قَالَ شَيْخُنَا أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى: وَ الَّذِيْ يَظْهَرُ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَرْفُ جَمِيْعِ زَمَنِهِ لِلْقَضَاءِ مَا عَدَا مَا يَحْتَاجُ لِصَرْفِهِ فِيْمَا لَا بُدَّ مِنْهُ، وَ أَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ، وَ يُبَادِرُ بِهِ – نَدْبًا – إِنْ فَاتَ بِعُذْرٍ كَنَوْمٍ لَمْ يَتَعَدَّ بِهِ وَ نِسْيَانٍ كَذلِكَ.

(وَ يُسَنُّ تَرْتِيْبُهُ) أَيِ الْفَائِتِ، فَيَقْضِي الصُّبْحَ قَبْلَ الظُّهْرِ، وَ هكَذَا. (وَ تَقْدِيْمُهُ عَلَى حَاضِرَةٍ لَا يَخَافُ فَوْتَهَا) إِنْ فَاتَ بِعُذْرٍ، وَ إِنْ خَشِيَ فَوْتَ جَمَاعَتِهَا – عَلَى الْمُعْتَمِدِ -. وَ إِذَا فَاتَ بِلَا عُذْرٍ فَيَجِبُ تَقْدِيْمُهُ عَلَيْهَا. أَمَا إِذَا خَافَ فَوْتَ الْحَاضِرَةِ بِأَنْ يَقَعَ بَعْضُهَا – وَ إِنْ قَلَّ – خَارِجَ الْوَقْتِ فَيَلْزَمُهُ الْبَدْءُ بِهَا. وَ يَجِبُ تَقْدِيْمُ مَا فَاتَ بِغَيْرِ عُذْرٍ عَلَى مَا فَاتَ بِعُذْرٍ. وَ إِنْ فَقَدَ التَّرْتِيْبَ لِأَنَّهُ سُنَّةٌ وَ الْبَدَارُ وَاجِبٌ. وَ يُنْدَبُ تَأْخِيْرُ الرَّوَاتِبِ عَنِ الْفَوَائِتِ بِعُذْرٍ، وَ يَجِبُ تَأْخِيْرُهَا عَنِ الْفَوَائِتِ بِغَيْرِ عُذْرٍ.

(تَنْبِيْهٌ) مَنْ مَاتَ وَ عَلَيْهِ صَلَاةُ فَرْضٍ لَمْ تُقْضَ وَ لَمْ تُفْدَ عَنْهُ، وَ فِيْ قَوْلٍ أَنَّهَا تُفْعَلُ عَنْهُ – أَوْصَى بِهَا أَمْ لَا مَا حَكَاهُ الْعُبَادِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ لِخَبَرٍ فِيْهِ، وَ فَعَلَ بِهِ السُّبْكِيُّ عَنْ بَعْضِ أَقَارِبِهِ.

BAB SHALAT

Shalat menurut syara‘ adalah ucapan dan perbuatan yang ditertentukan, yang dibuka dengan takbīrat-ul-iḥrām, dan ditutup dengan salam. Shalat dinamakan demikian karena mencakupnya shalat terhadap (pengertian kata) shalat secara bahasa yakni bermakna doa. Shalat yang difardhukan secara individual berjumlah lima waktu setiap hari dan malam yang telah diketahui dari agama secara pasti. Maka dihukumi kafir bagi orang yang menentangnya. Shalat lima waktu ini tidak terkumpul selain pada Nabi kita Muḥammad s.a.w.. Shalat lima waktu difardhukan pada malam Isra’ setelah 10 tahun kenabian lebih 3 bulan. Tepatnya, terjadi pada malam 27 bulan Rajab. Shalat Shubuh dari malam itu tidak diwajibkan sebab belum mengetahui tata caranya.

(Kewajiban melaksanakan shalat maktubah) yakni shalat lima waktu (hanya dibebankan kepada) setiap (orang muslim yang mukallaf) yaitu seorang muslim yang telah baligh, berakal, baik laki-laki maupun yang lainnya (dan orang suci). Maka ritual ibadah shalat itu tidak diwajibkan bagi orang kafir asli, anak kecil, orang gila, epilepsi, dan orang mabuk yang tidak ceroboh, karena tidak ada tanggungan bagi mereka, dan juga tidak wajib seorang wanita yang haidh dan nifas sebab tidak sah shalat dari mereka berdua. Tidak ada kewajiban mengganti shalat yang ditinggalkan atas mereka berdua, namun shalat hukumnya wajib bagi orang murtad dan orang yang ceroboh dalam hilangnya akal sebab mabuk.

(Seorang muslim mukallaf yang suci dibunuh) dengan memenggal kepalanya sebagai hukuman (ketika dia mengeluarkan waktu shalat) yang telah diwajibkan secara sengaja (dari waktu yang dapat digunakan menjama‘) shalat fardhu tersebut, jika ia merasa malas yang disertai dengan keyakinan terhadap kewajibannya (kalau ia tidak bertaubat) setela disuruh. Jika mengikuti pendapat yang menghukumi sunnah menyuruh orang yang meninggalkan shalat untuk taubat, maka tidak wajib mengganti rugi bagi orang yang membunuhnya sebelum ia taubat namun hukumnya berdosa. Dan dibunuh dengan status kafir apabila ia meninggalkan shalat sebab menentang kewajibannya, maka ia tidak boleh dimandikan dan dishalati.

Bersegera melaksanakan shalat yang ditinggalkan oleh orang yang telah disebutkan hukumnya adalah wajib, jika shalat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur maka wajib baginya mengganti atau mengqadha’ shalat tersebut segera. Guru kita Syaikh Ibnu Ḥajar – semoga Allah mengasihnya – mengatakan: “Jelaslah bahwa baginya wajib menggunakan seluruh waktunya mengganti shalat yang ditinggalkan selain waktu yang ia butuhkan untuk digunakan dalam hal yang wajib, dan haram baginya melakukan kesunnahan. Sunnah bersegera mengqadha’ shalat yang ditinggalkan sebab udzur seperti tidur yang tidak ceroboh, begitu pula lupa.

Disunnahkan untuk mentartibkan shalat yang ditinggalkan, maka shalat Shubuh dikerjakan terlebih dahulu sebelum Zhuhur dan begitu seterusnya. Disunnahkan mendahulukan shalat qadha’ atas shalat yang hadir yang tidak ditakutkan habisnya waktu, jika shalatnya ditinggalkan dengan sebab udzur, walaupun orang tersebut takut kehilangan shalat berjama‘ah dari shalat yang hadir menurut pendapat yang mu‘tamad. Jika shalat tersebut ditinggalkan dengan tanpa udzur, maka wajib baginya untuk mendahulukan mengerjakan shalat qadha’ dengan mengakhirkan shalat yang hadir. Sedangkan apabila ia takut kehilangan waktu yang hadir dengan beradanya sebagian waktu hadir – walaupun hanya sedikit – di luar waktunya maka wajib baginya mengawali shalat yang hadir. Wajib mendahulukan shalat yang ditinggalkan tanpa ada udzur atas shalat yang ditinggalkan dengan udzur walaupun menyebabkan kehilangan tartib, sebab hukum tartib hanya sunnah sedang bersegera hukumnya wajib. Disunnahkan untuk mengakhirkan shalat rawatib dari shalat yang ditinggalkan dengan udzur dan wajib mengakhirkan atas shalat yang ditinggalkan dengan tanpa udzur.

(Peringatan). Barang siapa meninggal dunia sedang ia masih memiliki tanggungan shalat fardhu maka shalatnya tidak diganti dan tidak dibayar fidyah sebagai ganti shalat yang ditinggalkannya. Sebagian pendapat mengatakan: Shalat tersebut dapat dikerjakan sebagai ganti shalat yang ditinggalkan, baik orang tersebut berwasiat ataupun tidak. Imām al-‘Ubādī menghikayatkan pendapat tersebut dari Imam Syafi‘i sebab adanya hadits tentang hal tersebut dan Imām Subkī dengan pendapat tersebut melakukannya sebagai ganti shalat yang ditinggal oleh sebagian kerabatnya.

DOWNLOAD TERJEMAH FATHUL MUIN

Format file: Djvu
Jilid 1
Jilid 2:
Jilid 3:
Jilid 4:
Jilid 5:
Jilid 6:
Jilid 7:
Jilid 8:
Jilid 9:
Jilid 10
Jilid 11:
Jilid 12:

DOWNLOAD FATHUL MUIN VERSI ARAB

Fathul Muin Arab (pdf)
Fathul Muin versi Web


Posting Komentar untuk "Terjemah Fathul Muin"