Kapan Awal Syawal Menurut Ulama
Kementerian Agama sebagai lembaga yang punya otoritas dalam
penetapan awal puasa, telah berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut
dengan menggelar sidang itsbat yang dihadiri oleh para ulama, ilmuwan, pakar
hisab-rukyat, dan perwakilan dari berbagai organisasi massa yang ada di
Indonesia. Hanya saja, terkadang ada kelompok yang tidak mengikuti hasil sidang
itsbat dimaksud dengan alasan mereka telah memiliki metode penetapan sendiri.
Karenanya menjadi sangat penting bagi masyarakat untuk mengetahui metode-metode
yang digunakan oleh para ulama dalam menetapkan awal bulan Ramadhan dan syawal.
Dalam menetapkan awal bulan Ramadhan ataupun syawal, ulama berbeda pendapat.
Pertama, mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali
menyatakan bahwa awal bulan Ramadhan atau syawal hanya bisa ditetapkan dengan
menggunakan metode rukyat (observasi/mengamati hilal) atau istikmal, yaitu
menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Mereka berpegangan pada firman
Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Allah
berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 185:
فَمَنْ شَهِدَ
مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
“Maka barangsiapa di antara kalian menyaksikan bulan
maka hendaklah ia berpuasa (pada) nya.”
Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبِّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا
عِدَّةَ شَعْبَانَ ثَلَاثِينَ
“Berpuasalah kalian karena melihat hilal dan berbukalah kalian
karena melihatnya. Jika kalian terhalang (dari melihatnya) maka sempurnakanlah
bilangan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari, hadits no. 1776).
Pada ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya mengkaitkan
kewajiban berpuasa dengan melihat hilal. Artinya, kewajiban berpuasa hanya bisa
ditetapkan dengan melihat hilal atau menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi tiga
puluh hari. (Lihat: Muhammad Ali al-Shabuni, Rawa’i al-Bayan Tafsir Ayat
al-Ahkam min al-Qur’an, Damaskus: Maktabah al-Ghazali, Juz 1980, hal. 210). Kedua,
sebagian ulama, meliputi Ibnu Suraij, Taqiyyuddin al-Subki, Mutharrif bin
Abdullah dan Muhammad bin Muqatil, menyatakan bahwa awal puasa dapat ditetapkan
dengan metode hisab (perhitungan untuk menentukan posisi hilal). Mereka
berpedoman pada firman Allah subhanahu wa ta’ala dan Hadits Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam. Allah berfirman dalam surat Yunus ayat 5:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا
وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ
“Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan
bercahaya, dan Dialah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar kamu
mengetahui bilangan tahun, dan perhitungan (waktu).”
Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا
رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمَّ
عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
“Jika kalian melihat hilal (hilal Ramadhan) maka
berpuasalah, dan jika kalian melihatnya (hilal Syawwal) maka berbukalah. Jika
kalian terhalang (dari melihatnya) maka perkirakanlah ia.”
Ayat di atas menerangkan bahwa tujuan penciptaan sinar matahari
dan cahaya bulan serta penetapan tempat orbit keduanya adalah agar manusia
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu. Artinya, Allah subhanahu wa
ta’ala mensyariatkan kepada manusia agar menggunakan hisab dalam menentukan
awal dan akhir bulan Hijriyah. Sedangkan poin utama dari hadits di atas adalah
kata “Faqdurû lah”. Menurut mereka, arti kata tersebut adalah perkirakanlah
dengan menggunakan hitungan (hisab). Dari kedua pendapat di atas, tampaknya
pendapat kelompok pertama yang menyatakan bahwa awal Ramadhan atau syawal hanya
bisa ditetapkan dengan rukyat dan istikmal merupakan pendapat yang sangat kuat,
karena dalil-dalil yang mereka kemukakan sangat jelas dan tegas menyatakan hal
tersebut. (Lihat: Mahmud Ahmad Abu Samrah dkk., Al-Ahillah Baina al-Falaq wa
al-Fiqh, Jurnal al-Jami’ah al-Islamiyyah, Volume 12, Nomor 2, Halaman 241).
Akan tetapi, seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama
dalam bidang ilmu astronomi, peran hisab sangatlah urgen dalam mendukung hasil
rukyat. Apalagi, hisab yang didukung dengan alat modern memiliki akurasi yang
sangat tinggi. Dalam konteks negara Indonesia, terdapat beberapa kriteria
penetapan awal Ramadhan atau syawal, di antaranya: Pertama, imkanur rukyat
(visibilitas hilal). Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan
terlihatnya hilal. Kriteria ini mengharuskan hilal berada minimal 2 derajat di
atas ufuk, sehingga memungkinkan untuk dilihat. Akan tetapi, adanya hilal belum
teranggap sampai hilal tersebut dapat dilihat dengan mata. Kriteria ini
digunakan oleh NU sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat yang berkualitas.
Kedua, wujudul hilal. Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan
Ramadhan atau syawal dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (Konjungsi) telah
terjadi sebelum Matahari terbenam, dan bulan terbenam setelah matahari
terbenam. Jika kedua kriteria tersebut terpenuhi maka pada petang hari tersebut
dapat dinyatakan sebagai awal bulan. Kriteria ini digunakan oleh Muhammadiyah.
Ketiga, imkanur rukyat MABIMS. Yaitu penentuan awal bulan Ramadhan atau
syawal yang ditetapkan berdasarkan
musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan
Singapura (MABIMS). Menurut kriteria ini, awal bulan Hijriyah terjadi jika saat
matahari terbenam, ketinggian Bulan di atas horison tidak kurang dari 2 derajat
dan jarak lengkung Bulan-Matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat,
dan ketika terbenam, usia bulan tidak kurang dari 8 jam setelah
ijtimak/konjungsi. Keempat, rukyat global. Yaitu Kriteria penentuan awal bulan
Ramadhan atau syawal yang menganut prinsip bahwa jika satu penduduk negeri
melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa. Kriteria ini digunakan
sebagian muslim Indonesia dengan merujuk langsung pada Negara Arab Saudi atau
menggunakan hasil terlihatnya hilal dari Negara lain. Dengan adanya metode dan
kriteria penetapan awal Ramadhan dan syawal yang sangat variatif, tidak
mengherankan jika terjadi perbedaan dalam memulai puasa Ramadhan. Hanya saja,
penting kiranya untuk berusaha menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut, mengingat
bahwa amaliah di bulan Ramadhan dan lebaran di bulan Syawal merupakan syi’ar
Islam dan momen kebahagiaan yang layaknya dilaksanakan dan dinikmati
bersama-sama. Pemerintah melalui Kementerian Agama memiliki peran sentral
dalam menyatukan perbedaan dimaksud, yaitu dengan menyelenggarakan sidang
Itsbat awal Ramadhan yang didasarkan pada rukyat, dan hisab sebagai
pendukung. Keputusan Itsbat bersifat mengikat dan berlaku bagi umat Islam
secara nasional, sebagaimana kaidah fiqih:
حُكْمُ
الحَاكِمِ يَرْفَعُ الخِلَافَ
“Keputusan Hakim (Pemerintah) dapat menghilangkan
perselisihan.”
Hanya saja, jika perbedaan penetapan awal Ramadhan dan Syawal
masih saja terjadi maka prinsip toleransi sepatutnya tetap dikedepankan. Sebab,
menjaga persatuan dan kerukunan umat merupakan perintah Allah yang wajib
dilaksanakan. Wallahu A’lam.
Posting Komentar untuk "Kapan Awal Syawal Menurut Ulama"