HUKUM MUSLIM MASUK GEREJA MENURUT 4 MADZHAB
para ulama berbeda pendapat tentang hukum seorang Muslim
memasuki tempat-tempat ibadah non-Muslim, seperti gereja, wihara, dan sinagog.
Pertama, ulama mazhab Hanafi menyatakan, hukum
memasuki tempat ibadah non-Muslim adalah makruh. Syekh Ibnu Abidin dalam
kitab Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar menyebutkan:
يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ
"Bagi seorang
Muslim, memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh." (Lihat: Muhammad
Amin Ibnu Abidin, Raddul Muhtar Alad Durril Mukhtar, juz 1, h. 380).
Senada dengan Ibnu Abidin, Syekh Ibnu Nujaim Al-Mishry dalam
kitabnya Al-Bahrur Ra’iq Syarh Kanzud Daqaiq menegaskan:
يُكْرَهُ لِلْمُسْلِمِ الدُّخُولُ فِي الْبِيعَةِ وَالْكَنِيسَةِ. وَالظَّاهِرُ أَنَّهَا تَحْرِيمِيَّةٌ
“Bagi seorang Muslim,
memasuki sinagog dan gereja hukumnya makruh. Dan tampaknya, hal itu adalah
makruh tahrim (mendekati haram)” (Ibnu Nujaim Al-Mishry, Al-Bahrur Ra’iq
Syarh Kanzud Daqaiq, juz 8, h. 374).
Kedua, mayoritas ulama, meliputi ulama mazhab Maliki,
Hanbali, dan sebagian ulama mazhab Syafi’i menyatakan, seorang Muslim boleh
memasuki tempat ibadah non-Muslim. Ulama bermazhab Maliki bernama Syekh Abdus
Sami’ Al-Abi Al-Azhari menuturkan:
أَيْ مَعْبَدُهَا كَنِيْسَةً أَوْ بِيْعَةً، وَلِزَوْجِهَا الْمُسْلِمِ دُخُوْلُهُ مَعَهَا
“Yaitu tempat ibadah
istrinya, baik berupa gereja atau sinagog. Dan suaminya yang Muslim boleh
memasukinya (tempat ibadah istri) bersama istrinya.” (Lihat: Abdus Sami’ Al-Abi
Al-Azhari, Jawahirul Iklil, juz 1, h. 383).
Ulama bermazhab Maliki yang lain bernama Ibnu Rusyd
Al-Qurtubhi juga menuliskan dalam kitabnya Al-Bayan Wat Tahshil:
وَرَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ أَنَّ مَالِكًا سُئِلَ عَنْ أَعْيَادِ الْكَنَائِسِ فَيَجْتَمِعُ الْمُسْلِمُونَ يَحْمِلُونَ إلَيْهَا الثِّيَابَ وَالْأَمْتِعَةَ وَغَيْرَ ذَلِكَ يَبِيعُونَ يَبْتَغُونَ الْفَضْلَ فِيهَا. قَالَ: لَا بَأْسَ بِذَلِكَ
"Ibnu Qasim bercerita, imam Malik ditanya tentang perayaan
di gereja, di mana umat Islam berkumpul lalu membawa baju, perhiasan, dan
barang-barang lain menuju gereja untuk menjualnya di sana. Beliau berkata: Hal
itu tidak apa-apa." (Lihat: Ibnu Rusyd Al-Qurtubhi, Al-Bayan Wat
Tahshil, juz 4, h. 168-169).
Seirama dengan kedua ulama mazhab Maliki di atas, seorang
ulama bermazhab Hanbali, Syekh Ibnu Qudamah juga menyatakan kebolehan memasuki
tempat ibadah agama lain. Bahkan, beliau membolehkan seorang Muslim
melaksanakan shalat di gereja yang bersih.
وَلَا بَأْسَ بِالصَّلَاةِ فِي الْكَنِيسَةِ النَّظِيفَةِ، رَخَّصَ فِيهَا الْحَسَنُ وَعُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَالشَّعْبِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ وَرُوِيَ أَيْضًا عَنْ عُمَرَ وَأَبِي مُوسَى، وَكَرِهَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَمَالِكٌ الْكَنَائِسَ؛ مِنْ أَجْلِ الصُّوَرِ وَلَناَ: "أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى فِي الْكَعْبَةِ وَفِيهَا صُوَرٌ،" ثُمَّ هِيَ دَاخِلَةٌ فِي قَوْلِهِ عَلَيْهِ السَّلَامُ: فَأَيْنَمَا أَدْرَكَتْكَ الصَّلَاةُ فَصَلِّ، فَإِنَّهُ مَسْجِدٌ
Ibn Qudamah
menjelaskan al-Hasan, Umar bin Abdul Azis, Sya’bi, Awza’i dan Sa’id bin Abdul
Azis, serta riwayat dari Umar bin Khattab dan Abu Musa, mengatakan tidak
mengapa shalat di dalam gereja yang bersih. Namun Ibn Abbas dan Malik
memakruhkannya karena ada gambar di dalam gereja. Namun bagi kami (Ibn Qudamah
dan ulama yang sepaham dengannya) Nabi Saw pernah shalat di dalam Ka’bah dan di
dalamnya ada gambar. Ini juga termasuk dalam sabda Nabi: “jika waktu shalat
telah tiba, kerjakan shalat di manapun, karena di mana pun bumi Allah
adalah masjid. (Lihat: Ibnu Qudamah, Al-Mughni, juz 2, h. 478).
Syekh Ibnu Muflih
juga menuturkan:
وَلَهُ دُخُولُ بِيعَةٍ وَكَنِيسَةٍ وَنَحْوِهِمَا وَالصَّلَاةُ فِي ذَلِكَ. وَقَالَ ابْنُ تَمِيمٍ لَا بَأْسَ بِدُخُولِ الْبِيَعِ وَالْكَنَائِسِ الَّتِي لَا صُوَرَ فِيهَا وَالصَّلَاةِ فِيهَا
“Dan seorang Muslim
diperbolehkan memasuki sinagog, gereja, dan sebagainya, serta diperbolehkan
melaksanakan shalat di dalamnya. Ibnu Tamim berkata: “Tidak apa-apa memasuki
sinagog dan gereja yang di dalamnya tidak terdapat gambar, serta diperbolehkan
shalat di dalamnya.” (Lihat: Ibnu Muflih, Al-Adab Al-Syariyyah, juz 4, h.
122).
Ketiga,
sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat, seorang Muslim tidak boleh memasuki
tempat ibadah non-Muslim kecuali jika ada izin dari mereka. Artinya, jika
mereka mengizinkan maka ia boleh memasuki tempat ibadah tersebut. Syekh
Muhammad bin Khatib As Syarbini menyebutkan:
لَا يَجُوْزُ لِلْمُسْلِمِ دُخُوْلُ كَنَائِسِ أَهْلِ الذِّمَّةِ إِلَّا بِإِذْنِهِمْ. وَمُقْتَضَى ذَلِكَ الْجَوَازُ بِالْإِذْنِ وَهُوَ مَحْمُوْلٌ عَلَى مَا إِذَا لَمْ تَكُنْ فِيْهَا صُوْرَةٌ
"Seorang Muslim
tidak diperkenankan memasuki gereja-gereja Ahli Dzimmah kecuali atas izin
mereka. Artinya, hal itu diperbolehkan mana kala ada izin. Namun kebolehan
melakukan hal itu, hanya jika di dalam gereja tersebut tidak terdapat
gambar." (Lihat: Muhammad bin Khatib As Syarbini, Mughnil Muhtaj, juz
4, h. 337).
Syekh Al-Qalyubi juga menuliskan:
لَا يَجُوزُ لَنَا دُخُولُهَا إلَّا بِإِذْنِهِمْ وَإِنْ كَانَ فِيهَا تَصْوِيرٌ حَرُمَ مُطْلَقًا، وَكَذَا كُلُّ بَيْتٍ فِيهِ صُورَةٌ
“Kita tidak
diperbolehkan memasuki gereja kecuali atas izin mereka, sedangkan jika di dalam
gereja tersebut ada gambar maka hukum memasukinya haram secara mutlak. Begitu
pula, haram memasuki setiap rumah yang ada gambarnya.” (Lihat:
Al-Qalyubi, Hasyiyatal Qalyubi wa Umairah, juz 4, halaman 492).
Dari
pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat tentang
hukum seorang Muslim memasuki tempat ibadah non-Muslim. Menurut mazhab Hanafi
hukumnya makruh, menurut mazhab Maliki, Hanbali, dan sebagian ulama mazhab
Syafi’i hukumnya boleh, sedangkan menurut sebagian ulama lain dari mazhab
Syafi’i hukumnya tidak boleh, kecuali ada izin dari mereka. Adanya
perbedaan pendapat para ulama terkait hukum memasuki tempat ibadah non-Muslim
bagi seorang Muslim merupakan bukti bahwa Islam menghargai keragaman. Terhadap
keragaman ini, Islam mengajarkan umatnya untuk mengedepankan toleransi dan
saling menghargai. Wallahu a’lam.
Posting Komentar untuk "HUKUM MUSLIM MASUK GEREJA MENURUT 4 MADZHAB"