Hak Asuh Anak Setelah Perceraian
Ketika orang tua bercerai, anak ikut siapa? Saat pernikahan tidak lagi bisa dikompromikan, kata cerai menjadi satu-satunya pilihan. Walaupun tampak menyelesaikan masalah, namun cerai bisa jadi justru menimbulkan masalah baru. Salah satunya yang berkaitan dengan hak asuh anak. Hal ini menjadi penting karena menyangkut tumbuh kembang fisik, psikis dan masa depan anak. Tidak sedikit anak terlantar karena menjadi korban perceraian orang tuanya. Lalu bagaimana sebenarnya hak asuh anak dalam hukum Islam? Apa saja syarat-syaratnya?
Hak Asuh Anak dalam Hukum Islam
Islam telah membuat aturan mengenai hadlânah, yaitu hak mengasuh dan merawat anak yang belum dapat mengurus dirinya sendiri sampai mencapai usia tamyîz. Hak asuh anak ini jatuh kepada ibu sampai anak mencapai usia tamyîz. Di usia tamyîz ini anak dapat memilih untuk ikut ibu atau ayahnya.
Mengapa ibu yang terpilih untuk mengasuh? Karena ibu dianggap bisa lebih mencurahkan kasih sayang, lebih sabar dan lebih telaten dalam mengasuh anak.
إن الأم أحق بالحضانة من الأب، للأسباب التالية: لوفور شفقتها، وصبرها على أعباء الرعاية والتربية. لأنها ألين بحضانة الأطفال، ورعايتهم، وأقدر على بذل ما يحتاجون إليه من العاطفة والحنو
Artinya: “Sungguh ibu lebih berhak atas pengasuhan daripada ayah karena beberapa alasan berikut: pertama, kasih sayangnya lebih luas serta kesabarannya lebih besar dalam menanggung beban pengurusan dan pendidikan; kedua, ibu lebih lembut dalam mengasuh dan menjaga anak-anak, dan lebih mampu mencurahkan perasaan dan kasih sayang yang mereka butuhkan.” (Musthafa al-Khin dkk., al-Fiqh al-Manhaji, jilid IV, halaman 191).
7 Syarat Hak Asuh Anak dalam Hukum Islam
Tidak serta merta seorang ibu boleh mengasuh anaknya setelah perceraian. Ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Syaikh Ibnu Qasim al-Ghazi menjelaskan 7 syarat hak asuh anak dalam hukum Islam sebagai berikut:
1. Berakal sehat. Karenanya bagi perempuan yang gila tidak boleh mengasuh anak, baik gilanya terus-menerus maupun terkadang saja. Namun jika gilanya hanya sedikit, semisal sehari dalam setahun, maka hak pengasuhan tidak batal.
2. Merdeka. Karenanya dalam konteks dahulu ketika masih berlaku perbudakan manusia, budak wanita tidak mempunyai hak asuh anak.
3. Muslimah. Karenanya anak seorang muslim tidak boleh diasuh oleh wanita nonmuslim.
4. Punya sifat ‘iffah atau bisa menjaga kehormatan dirinya
5. Dapat dipercaya. Karenanya anak tidak boleh diasuh oleh wanita fasik.
6. Mempunyai tempat tinggal yang tetap.
7. Belum menikah lagi dengan lelaki yang tidak mempunyai hubungan mahram dengan anak.
Syarat-syarat di atas, kecuali syarat ketujuh tentunya, juga berlaku bagi ayah yang mempunyai hak asuh anak setelah anak mencapai usia tamyîz—yaitu ketika anak dapat makan, minum dan bersuci secara mandiri; atau menurut sebagian ulama anak berusia usia 7 tahun qamariyah—. Jika tidak memenuhi syarat, maka hak pengasuhan dialihkan kepada nenek dari jalur ibu, bibi dari jalur ibu, ayah atau kerabat lain sesuai urutan pengasuhan anak. (Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Qasim asy-Syafi’i, Fathul Qarîbul Mujîb, [Surabaya, Maktabah Muhammad Ibn Ahmad] , halaman 234).
Walaupun hak asuh anak jatuh kepada ibu, bukan berarti sang ayah terbebas dari tanggungjawab begitu saja. Biaya pengasuhan anak—demikian pula nafkah si ibu selama masa iddah—tetap menjadi kewajiban suami sesuai kemampuannya. Suami dan istri tetap berperan dalam porsinya masing masing dalam pengasuhan anak. Dengan begini diharapkan tidak terjadi percekcokan dan perebutan hak asuh anak, karena anak bukanlah barang yang dengan mudah dipindahtangankan begitu saja.
Dengan memenuhi 7 syarat hak mengasuh anak, meskipun di antara suami istri terjadi masalah, namun hal itu tidak sampai mengabaikan pemenuhan terhadap hak asuh anaknya. Dengan demikian anak tetap mendapatkan jaminan perlindungan diri, jaminan pendidikan, selamat agama dan akhlaknya, serta sehat jasmani dan rohaninya.
Posting Komentar untuk "Hak Asuh Anak Setelah Perceraian"