Tafsir Dan Terjemah QS Al Fatihah Ayat 6
QS Al Fatihah Ayat 6
اِÚ¾ْدِÙ†َا الصِّرَاطَ الْÙ…ُسْتَـقِÙŠْÙ…َ
Ihdinas-Siraatal-Mustaqiim
Tunjukilah kami jalan yang lurus
Tafsir
Kami memohon, tunjukilah kami jalan yang lurus, dan
teguhkanlah kami di jalan itu, yaitu jalan hidup yang benar, yang dapat membuat
kami bahagia di dunia dan di akhirat, serta dapat mengantarkan kami menuju
keridaan-Mu.
Ihdi: pimpinlah, tunjukilah, berilah hidayah. Arti
"hidayah" ialah menunjukkan suatu jalan atau cara menyampaikan orang
kepada orang yang ditujunya, dengan baik.
Macam-macam Hidayah (Petunjuk)
Allah telah memberi manusia bermacam-macam hidayah, seperti
yang juga dibahas dalam Tafsir Al-Fatihah oleh Muhammad Abduh.
1. Hidayah Naluri (Garizah)
Manusia begitu juga binatang-binatang, dilengkapi oleh Allah
dengan bermacam-macam sifat, yang timbulnya bukan dari pelajaran, bukan pula
dari pengalaman, melainkan telah dibawanya dari kandungan ibunya. Sifat-sifat
ini namanya "naluri", dalam bahasa Arab disebut garizah. Umpamanya,
naluri "ingin memelihara diri" (mempertahankan hidup). Seorang bayi
bila merasa lapar dia menangis. Sesudah terasa di bibirnya puting susu ibunya,
dihisapnya sampai hilang laparnya. Perbuatan ini dikerjakannya tanpa seorang
pun yang mengajarkan kepadanya, bukan pula timbul dari pengalamannya, hanya
semata-mata ilham dan petunjuk dari Allah kepadanya, untuk mempertahankan
hidupnya.
Contoh lain adalah lebah membuat sarangnya, laba-laba
membuat jaringnya, semut membuat lubangnya dan menimbun makanan dalam lubang
itu. Semua itu dikerjakan oleh binatang-binatang itu untuk mempertahankan
hidupnya dan memelihara dirinya, dengan dorongan nalurinya semata-mata. Banyak
lagi naluri yang lain, umpamanya rasa "ingin tahu", "ingin
mempunyai", "ingin berlomba-lomba", "ingin bermain",
"ingin meniru", "takut", dan lain-lain.
Sifat-sifat Naluri
Naluri (garizah), sebagaimana disebutkan, terdapat pada
manusia dan binatang. Perbedaannya ialah naluri manusia bisa menerima
pendidikan dan perbaikan, tetapi naluri binatang tidak. Sebab itulah manusia
bisa maju, sedangkan binatang tidak, ia tetap seperti sediakala.
Naluri-naluri itu adalah dasar bagi kebaikan, dan juga dasar
bagi kejahatan. Umpamanya, naluri "ingin memelihara diri", orang
berusaha, berniaga, bertani, artinya mencari nafkah secara halal. Sebaliknya
karena naluri "ingin memelihara diri" itu pula orang mencuri, menipu,
merampok dan lain-lain. Karena naluri "ingin tahu" orang belajar, sehingga
memiliki pengetahuan yang banyak dan pendidikan yang tinggi. Sebaliknya karena
naluri "ingin tahu" itu pula orang suka mencari-cari 'aib dan rahasia
sesamanya, yang mengakibatkan permusuhan dan persengketaan. Demikianlah
seterusnya dengan naluri-naluri yang lain.
Naluri-naluri itu tidak dapat dihilangkan dan tidak ada
faedahnya membunuhnya. Ada pemikir dan pendidik yang hendak memadamkan naluri,
karena melihat segi yang tidak baik (jahat) itu. Sebab itu mereka membuat
bermacam peraturan untuk mengikat kemerdekaan anak-anak agar naluri itu jangan
tumbuh, atau mana yang telah tumbuh menjadi mati. Tetapi perbuatan mereka itu
besar bahayanya terhadap pertumbuhan akal, tubuh dan akhlak anak-anak.
Bagaimanapun orang berusaha hendak membunuh naluri itu, namun ia tidak akan
mati.
Boleh jadi karena kerasnya tekanan dan kuatnya rintangan
terhadap suatu naluri, maka kelihatan ia telah padam, tetapi manakala ada yang
membangkitkannya, ia timbul kembali. Oleh karena itu, sekalipun naluri itu
dasar bagi kebaikan, sebagaimana ia juga dasar bagi kejahatan, kewajiban
manusia bukanlah menghilangkannya, tetapi mendidik dan melatihnya, agar dapat
dimanfaatkan dan disalurkan ke arah yang baik.
Allah telah menganugerahkan kepada manusia bermacam-macam
naluri untuk jadi hidayah (petunjuk) yang akan dipakainya secara bijaksana.
2. Hidayah Pancaindra
Karena naluri itu sifatnya belum pasti sebagaimana
disebutkan di atas, maka ia belum cukup untuk jadi hidayah bagi kebahagiaan
hidup manusia di dunia dan di akhirat. Sebab itu, manusia dilengkapi lagi oleh
Allah swt dengan pancaindra. Pancaindra itu sangat besar perannya terhadap
pertumbuhan akal dan pikiran manusia. Sehubungan dengan itu ahli-ahli
pendidikan berkata:
(Pancaindra adalah pintu-pintu pengetahuan).
Maksudnya ialah: dengan perantaraan pancaindra itulah
manusia dapat berhubungan dengan alam sekitar, dengan arti bahwa sampainya
sesuatu dari alam sekitar ini ke dalam otak manusia adalah melalui pintu-pintu
pancaindra. Tetapi naluri ditambah dengan pancaindra, juga belum cukup untuk
jadi pokok-pokok kebahagiaan manusia. Banyak lagi benda-benda dalam alam ini
yang tidak dapat dilihat oleh mata. Banyak macam suara yang tidak dapat
didengar oleh telinga. Malah selain dari alam mahsusat (yang dapat ditangkap oleh
pancaindra), ada lagi alam ma'qulat (yang hanya dapat ditangkap oleh akal).
Indra penglihatan (mata) hanya dapat menangkap alam
mahsusat, tangkapannya tentang yang mahhsusat itu pun tidak selamanya betul,
kadang-kadang salah. Inilah yang dinamakan dalam ilmu jiwa "ilusi
optik" (tipuan pandangan), dalam bahasa Arab disebut khida' an-nadhar.
Sebab itu manusia masih membutuhkan hidayah yang lain. Maka Allah
menganugerahkan hidayah yang ketiga, yaitu "hidayah akal".
3. Hidayah Akal (pikiran)
a.Akal dan kadar kesanggupannya
Dengan adanya akal manusia dapat menyalurkan naluri ke arah
yang baik, agar naluri itu menjadi sumber bagi kebaikan, dan manusia dapat
membetulkan kesalahan-kesalahan pancaindranya, membedakan yang buruk dengan
yang baik. Akal bahkan sanggup menyusun mukadimah untuk menyampaikannya kepada
natijah, mempertalikan akibat dengan sebab, memakai yang mahsusat sebagai
tangga kepada yang ma'qulat, mempergunakan yang dapat dilihat, diraba dan
dirasakan untuk sampai kepada yang abstrak, maknawi, dan gaib, mengambil dalil
dari adanya makhluk untuk menetapkan adanya khalik, dan begitulah seterusnya.
Tetapi akal manusia juga belum memadai untuk membawanya
kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat di samping berbagai macam
naluri dan pancaindra itu. Apalagi pendapat akal itu bermacam-macam, yang baik
menurut pikiran si A belum tentu baik menurut pandangan si B, malah banyak
manusia yang mempergunakan akalnya, tetapi akalnya dikalahkan oleh hawa nafsu
dan sentimennya, hingga yang buruk itu menjadi baik dalam pandangannya, dan
yang baik itu menjadi buruk.
Dengan demikian nyatalah bahwa naluri ditambah dengan
pancaindra, dan ditambah pula dengan akal belum cukup untuk menjadi hidayah
yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup jasmani dan rohani, di
dunia dan akhirat. Oleh karena itu, manusia membutuhkan hidayah lain, di
samping pancaindra dan akalnya, yaitu hidayah agama yang dibawa oleh para rasul
'alaihimus-salatu was-salam.
b. Benih agama dan akidah tauhid pada jiwa manusia
Jika menilik kepada agama-agama dan kepercayaan-kepercayaan
yang diciptakan oleh manusia (al-adyan al-wadh'iyyah) terlihat bahwa pada jiwa
manusia telah ada bibit-bibit kecenderungan beragama. Hal itu karena manusia
mempunyai sifat merasa berutang budi, suka berterima kasih dan membalas budi
kepada orang yang berbuat baik kepadanya. Maka, ketika ia memperhatikan dirinya
dan alam di sekililingnya, umpamanya roti yang dimakannya, tumbuh-tumbuhan yang
ditanamnya, binatang ternak yang digembalakannya, matahari yang memancarkan
sinarnya, hujan yang turun dari langit yang menumbuhkan tanam-tanaman, dia akan
merasa berutang budi kepada "suatu Zat" yang gaib yang telah berbuat
baik dan melimpahkan nikmat yang besar itu kepadanya.
Manusia memahami dengan akalnya bahwa Zat yang gaib itulah
yang menciptakannya, yang menganugerahkan kepadanya dan kepada jenis manusia
seluruhnya, segala sesuatu yang dibutuhkannya yang ada di alam ini, untuk
memelihara diri dan mempertahankan hidupnya. Karena merasa berutang budi kepada
suatu Zat Yang Gaib itu, maka dia berpikir bagaimana cara berterima kasih dan
membalas budi itu, atau dengan perkataan lain bagaimana cara "menyembah
Zat Yang Gaib itu".
Perihal bagaimana cara menyembah Zat Yang Gaib, adalah suatu
masalah yang sukar, yang tidak dapat dicapai oleh akal manusia. Sebab itu, di
dalam sejarah terlihat tidak pernah ada keseragaman dalam hal ini. Bahkan akal
pikiran manusia akan membawanya kepada kepercayaan mengagungkan alam di samping
mengagungkan Zat Yang Gaib itu.
Karena pikirannya masih bersahaja dan belum tergambarkan di
otaknya bagaimana menyembah "Zat Yang Gaib", maka dipilihlah di
antara alam ini sesuatu yang besar, yang indah, yang banyak manfaatnya, atau
sesuatu yang ditakutinya untuk jadi lambang bagi Zat Yang Gaib itu. Ketika dia
mengagumi matahari, bulan dan bintang-bintang, sungai-sungai, binatang dan
lain-lain, maka disembahnya benda-benda itu, sebagai lambang menyembah Tuhan
atau Zat Yang Gaib itu, dan diciptakannya cara-cara beribadah (menyembah)
benda-benda itu.
Dengan cara itu timbul suatu macam kepercayaan, yang
dinamakan dengan "kepercayaan menyembah kekuatan alam", seperti yang
terdapat di Mesir, Kaldea, Babilonia, Asiria dan di tempat-tempat lain di zaman
purbakala. Dengan keterangan ini: tampak bahwa manusia menurut fitrahnya
cenderung beragama, acap memikirkan dari mana datangnya alam ini, dan ke
manakah kembalinya.
Bila manusia mau memikirkan: "Dari mana datangnya alam
ini", akan sampai pada keyakinan tentang adanya Tuhan, bahkan akan sampai
kepada keyakinan tentang keesaan Tuhan (tauhid), karena akidah (keyakinan)
tentang keesaan Tuhan ini lebih mudah, dan lebih cepat dipahami oleh akal
manusia. Karena itu dapat kita tegaskan bahwa manusia itu menurut nalurinya
adalah beragama tauhid.
Sejarah telah menerangkan bahwa bangsa Kaldea pada mulanya
adalah beragama tauhid, kemudian mereka menyembah matahari, planet-planet dan
bintang-bintang yang mereka simbolkan dengan patung-patung. Sesudah raja
Namrudz meninggal, mereka pun mendewakan dan menyembah Namrudz itu. Bangsa
Asiria pun pada mulanya beragama tauhid, kemudian mereka lupa kepada akidah
tauhid itu dan mereka sekutukan Tuhan dengan binatang-binatang, dan inilah yang
dipusakai oleh orang-orang Babilonia.
Adapun bangsa Mesir, bila diperhatikan nyanyian-nyanyian
yang mereka nyanyikan dalam upacara-upacara peribadatan, jelas bahwa tidak
semua orang Mesir purbakala itu orang-orang musyrik dan watsani (penyembah
berhala), melainkan di antara mereka ada juga muwahhidin, penganut akidah
tauhid. Di dalam nyanyian-nyanyian itu terdapat ungkapan sebagai berikut:
"Dialah Tuhan Yang Maha Esa, yang tiada sekutu
bagi-Nya"
"Dia mencintai seluruh makhluk, sedang Dia sendiri tak
ada yang menciptakan-Nya"
"Dialah Tuhan Yang Mahaagung, Pemilik langit dan bumi,
Pencipta seluruh makhluk"
Dapat ditegaskan bahwa akidah tauhid ini tidak pernah lenyap
sama sekali, dan tetap ada. Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta seluruh yang
ada di alam ini. Tuhan-tuhan atau dewa-dewa yang lain itu mereka anggap
hanyalah sebagai pembantu dan pelayan atau simbol bagi Yang Maha Esa.
c. Pendapat Orang-orang Arab sebelum Islam tentang Khalik
(Pencipta)
Orang-orang Arab sebelum datang agama Islam, kalau
ditanyakan kepada mereka, "Siapakah yang menjadikan langit dan bumi
ini?" Mereka menjawab, "Allah." Kalau ditanyakan, "Adakah
al-Lata dan al-Uzza itu menjadikan sesuatu yang ada pada alam ini?" Mereka
menjawab, "Tidak!" Mereka sembah dewa-dewa itu hanya untuk mengharapkan
perantaraan dan syafaat dari mereka terhadap Tuhan yang sebenarnya. Allah
berfirman tentang perkataan musyrikin Arab itu:
"Kami tidak menyembah mereka, melainkan (berharap) agar
mereka mendekatkan kami kepada Allah, dengan sedekat-dekatnya."
(az-Zumar/39: 3)
d. Kepercayaan tentang akhirat bisa dicapai oleh akal
Manakala manusia memikirkan "kemanakah kembalinya alam
ini?" akan sampailah dia pada keyakinan bahwa di balik hidup di dunia yang
fana ini akan ada lagi hidup di hari kemudian yang kekal dan abadi. Tetapi
dapatkah manusia dengan akal dan pikirannya semata-mata mengetahui apakah yang
perlu dikerjakan atau dijauhinya sebagai persiapan untuk kebahagiaan di hari
kemudian (hari akhirat) itu? Jawabnya, "Tentu saja tidak, sejarah pun
telah membuktikan hal ini."
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa manusia telah
diberi akal oleh Allah untuk jadi hidayah baginya, di samping naluri dan
pancaindra. Tetapi hidayah akal itu belumlah mencukupi untuk kebahagiaan
hidupnya di dunia dan akhirat.
Begitu juga manusia mempunyai tabiat suka beragama, dengan
akalnya dia kadang-kadang telah sampai kepada tauhid. Tetapi tauhid yang telah
dicapainya dengan akalnya itu sering pula menjadi kabur dan tidak murni lagi.
Dengan mempergunakan akalnya, manusia juga dapat sampai
kepada kesimpulan tentang adanya akhirat, tetapi hidayah akal itu belum
mencukupi untuk kebahagiaan hidupnya di dunia dan akhirat. Maka untuk
menyampai-kan manusia kepada akidah tauhid yang murni, yang tidak dicampuri
sedikit pun oleh kepercayaan-kepercayaan menyembah dan membesarkan selain
Allah, untuk membentangkan jalan yang benar yang akan ditempuhnya dalam
perjalanan mencari kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat, dan untuk jadi
pedoman dalam hidupnya di dunia ini, dia membutuhkan hidayah yang lain di
samping hidayah-hidayah yang telah disebutkan itu. Maka Allah mendatangkan
hidayah yang keempat yaitu "agama" yang dibawa oleh para rasul
'alaihimus-salatu was-salam.
4.Hidayah Agama
a.Pokok-pokok agama ketuhanan
Allah mengutus rasul-rasul untuk membawa agama yang akan
menunjukkan kepada manusia jalan yang harus mereka tempuh untuk kebahagiaan
mereka di dunia dan akhirat. Mula-mula yang ditanamkan oleh rasul-rasul itu
adalah kepercayaan tentang adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala sifat-sifat
kesempurnaan-Nya, guna membersihkan itikad manusia dari syirik (mempersekutukan
Allah).
Rasul membawa manusia kepada kepercayaan tauhid dengan
melalui akal dan logika, yaitu dengan mempergunakan dalil-dalil yang tepat dan logis.
Dialog antara Nabi Ibrahim dengan Namrudz, Nabi Musa dengan Fir'aun, dan
seruan-seruan Al-Qur'an kepada kaum musyrikin Quraisy semuanya mengajak agar
mereka mempergunakan akal.
Di samping kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa,
rasul-rasul juga menyeru untuk percaya pada akhirat, dan para malaikat.
Percaya kepada adanya Tuhan Yang Maha Esa dengan segala
sifat-sifat kesempurnaan-Nya, serta adanya malaikat dan hari kemudian dinamakan
al-iman bi al-gaib (percaya kepada yang gaib). Itulah yang menjadi pokok bagi
semua agama samawi, dengan arti bahwa semua agama yang datangnya dari Tuhan
adalah mempercayai keesaan Tuhan, para malaikat dan hari akhirat.
Di samping Akidah (kepercayaan) yang disebutkan itu, para
rasul juga membawa hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan
pelajaran-pelajaran. Hukum-hukum dan peraturan-peraturan ini tidak seluruhnya
sama, artinya apa yang diturunkan kepada Nabi Ibrahim tidak sama dengan yang
diturunkan kepada Nabi Musa, dan apa yang dibawa oleh Nabi Isa, tidak serupa
dengan yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Hal ini dikarenakan hukum-hukum dan
peraturan-peraturan itu haruslah sesuai dengan keadaan tempat dan masa. Maka
syariat yang dibawa oleh nabi-nabi itu adalah sesuai dengan masanya
masing-masing. Jadi yang berlainan itu ialah hukum-hukum furu' (cabang-cabang),
sedangkan pokok-pokok hukum agama seperti akidah adalah sama. Karena Muhammad
saw adalah Nabi penutup maka syariat yang dibawanya, diberi oleh Allah
sifat-sifat tertentu agar sesuai dengan segala masa dan keadaan.
b. Hidayah yang dimohonkan kepada Tuhan
Allah telah menganugerahkan agama Islam sebagai hidayah dan
senjata hidup yang penghabisan, atau jalan kepada kebahagiaan yang terakhir,
tetapi adakah semua orang, pandai mempergunakan senjata itu, dan adakah semua
hamba Allah sukses dalam menempuh jalan yang telah dibentangkan oleh Tuhan?
Banyak manusia salah menerapkan agama, tidak beribadah
(menyembah Allah) sesuai dengan yang diridai oleh yang disembah, tidak
melaksanakan syariat sesuai dengan yang dimaksud oleh pembuat syariat itu.
Karena itu Allah mengajarkan kepada manusia cara memohon kepada-Nya agar
diberi-Nya ma'unah, dibimbing dan dijaga selama-lamanya, serta diberi-Nya
taufik agar dapat memanfaatkan semua macam hidayah yang telah dianugerahkan itu
menurut semestinya. Naluri-naluri agar dapat disalurkan ke arah yang baik,
pancaindra agar betul, akal agar sesuai dengan yang benar, tuntunan-tuntunan
agama agar dapat dilaksanakan menurut yang dimaksudkan oleh yang menurunkan
agama itu, tanpa ada cacat, janggal dan salah.
Tegasnya, manusia yang telah diberi Allah bermacam-macam
hidayah yang disebutkan di atas (naluri, pancaindra, akal dan agama) belumlah
cukup, tetapi dia masih membutuhkan ma'unah dan bimbingan dari Allah (yaitu
taufik-Nya). ) Maka ma'unah dan bimbingan itulah yang kita mohonkan, dan kepada
Allah sajalah kita hadapkan permohonan itu. Dengan perkataan lain, Allah telah
memberi manusia hidayah-hidayah tersebut, seakan-akan Dia telah membentangkan
jalan raya yang akan menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup duniawi dan
ukhrawi. Kemudian yang dimohonkan kepada-Nya lagi, ialah "agar membimbing
kita dalam melalui jalan yang telah terbentang itu."
Dengan ringkas hidayah dalam ayat ihdinas-siratal-mustaqim
ini berarti "taufik" (bimbingan), dan taufik itulah yang dimohonkan
di sini kepada Allah. Taufik ini dimohonkan kepada Allah sesudah kita berusaha
dengan sepenuh tenaga, pikiran dan ikhtiar, karena berusaha dengan sepenuh
tenaga adalah kewajiban kita, tetapi keberhasilan suatu usaha adalah termasuk
kekuasaan Allah. Dengan ini terlihat pertalian ayat ini dengan ayat yang
sebelumnya. Pada ayat yang sebelumnya Allah mengajari hamba-Nya agar menyembah
dan memohon pertolongan kepada-Nya, sedangkan pada ayat ini Allah menerangkan
apa yang akan dimohonkan, dan bagaimana memohonkannya. Maka tidak ada
pertentangan antara kedua firman Allah tersebut dan firman Allah yang ditujukan
kepada Nabi:
Dan sungguh, engkau benar-benar membimbing (manusia) kepada
jalan yang lurus. (asy-Syura/42: 52).
Sungguh, engkau (Muhammad) tidak dapat memberi petunjuk
kepada orang yang engkau kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang
yang Dia kehendaki, dan Dia lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima
petunjuk. (al-Qasas/28: 56).
Sebab yang dimaksud dengan hidayah pada ayat pertama ialah
menunjukkan jalan yang harus ditempuh, dan ini memang tugas nabi. Yang dimaksud
dengan hidayah pada ayat kedua ialah membimbing manusia dalam menempuh jalan
itu dan memberikan taufik agar sukses dan berbahagia dalam perjalanannya, dan
ini tidaklah masuk dalam kekuasaan nabi, tetapi hak Allah semata-mata.
Jalan yang lurus (yang menyampaikan kepada yang dituju).
Apakah yang dimaksud dengan jalan lurus itu? Di atas telah
diterangkan bahwa rasul-rasul telah membawa aqa'id (kepercayaan-kepercayaan),
hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak, dan pelajaran-pelajaran. Pendeknya,
para rasul telah membawa segala sesuatu yang perlu untuk kebahagiaan hidup
manusia di dunia dan akhirat.
Maka aqa'id, hukum-hukum, peraturan-peraturan, akhlak dan
pelajaran-pelajaran itulah yang dimaksud dengan jalan lurus itu, karena dialah
yang menyampaikan manusia kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat
sebagaimana disebutkan. Jadi dengan menyebut ayat ini seakan-akan kita memohon
kepada Allah, "Bimbing dan berilah kami taufik, ya Allah dalam
melaksanakan ajaran-ajaran agama kami. Betulkanlah kepercayaan kami. Bimbing
dan berilah kami taufik dalam melaksanakan kepercayaan kami. Bimbing dan
berilah kami taufik dalam melaksanakan hukum, peraturan-peraturan, serta
pelajaran-pelajaran agama kami. Jadikanlah kami mempunyai akhlak yang mulia,
agar berbahagia hidup kami di dunia dan akhirat."
sumber: kemenag.go.id
Posting Komentar untuk "Tafsir Dan Terjemah QS Al Fatihah Ayat 6"