Tafsir Dan Terjemah QS Al Fatihah Ayat 4
QS Al Fatihah Ayat 4
Ù…ٰÙ„ِÙƒِ ÙŠَÙˆْÙ…ِ الدِّÙŠْÙ†ِ
Maaliki Yawmid-Diin
Pemilik hari pembalasan.
Tafsir
Dialah satu-satunya Pemilik hari Pembalasan dan perhitungan
atas segala perbuatan, yaitu hari kiamat. Kepemilikan-Nya pada hari itu
bersifat mutlak dan tidak disekutui oleh suatu apa pun.
Sesudah Allah menyebutkan beberapa sifat-Nya, yaitu: Tuhan
seluruh alam, Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang, maka diiringi-Nya dengan
menyebutkan satu sifat-Nya lagi, yaitu "menguasai hari pembalasan".
Penyebutan ayat ini dimaksudkan agar kekuasaan Allah atas alam ini tak terhenti
sampai di dunia ini saja, tetapi terus berkelanjutan sampai hari akhir.
Ada dua macam bacaan berkenaan dengan Malik. Pertama, dengan
memanjangkan ma, dan kedua dengan memendekkannya. Menurut bacaan yang pertama,
Malik artinya "Yang memiliki" (Yang empunya). Sedang menurut bacaan
yang kedua, artinya "Raja". Kedua bacaan itu benar.
Baik menurut bacaan yang pertama ataupun bacaan yang kedua,
dapat dipahami dari kata itu arti "berkuasa" dan bertindak dengan
sepenuhnya. Sebab itulah diterjemahkan dengan "Yang menguasai".
"Yaum" artinya hari, tetapi yang dimaksud di sini ialah waktu secara
mutlak.
Ad-din banyak artinya, di antaranya: (1) perhitungan, (2)
ganjaran, pembalasan, (3) patuh, (4) menundukkan, dan (5) syariat, agama. Yang
selaras di sini ialah dengan arti "pembalasan". Jadi, Maliki
yaumiddin maksudnya "Allah itulah yang berkuasa dan yang dapat bertindak
dengan sepenuhnya terhadap semua makhluk-Nya pada hari pembalasan."
Sebetulnya pada hari kemudian itu banyak hal yang terjadi,
yaitu Kiamat, kebangkitan, berkumpul, perhitungan, pembalasan, tetapi
pembalasan sajalah yang disebut oleh Allah di sini, karena itulah yang
terpenting. Yang lain dari itu, umpamanya kiamat, kebangkitan dan seterusnya,
merupakan pendahuluan dari pembalasan, apalagi untuk targib dan tarhib
(menggalakkan dan menakut-nakuti), penyebutan "hari pembalasan" itu
lebih tepat.
Hari Akhirat Menurut Pendapat Akal (Filsafat)
Kepercayaan tentang adanya hari akhirat, yang di hari itu
akan diadakan perhitungan terhadap perbuatan manusia pada masa hidupnya dan
diadakan pembalasan yang setimpal, adalah suatu kepercayaan yang sesuai dengan
akal. Sebab itu adanya hidup yang lain, sesudah hidup di dunia ini, bukan saja
ditetapkan oleh agama, tetapi juga ditunjukkan oleh akal.
Seseorang yang mau berpikir tentu akan merasa bahwa hidup di
dunia ini belumlah sempurna, perlu disambung dengan hidup yang lain. Alangkah
banyaknya orang yang teraniaya hidup di dunia ini telah pulang ke rahmatullah
sebelum mendapat keadilan. Alangkah banyaknya orang yang berjasa kecil atau
besar, belum mendapat penghargaan atas jasanya. Alangkah banyaknya orang yang
telah berusaha, memeras keringat, membanting tulang, tetapi belum sempat lagi
merasakan buah usahanya itu. Sebaliknya, alangkah banyaknya penjahat,
penganiaya, pembuat onar, yang tak dapat dijangkau oleh pengadilan di dunia
ini. Lebih-lebih kalau yang melakukan kejahatan atau aniaya itu orang yang
berkuasa sebagai raja, pembesar dan lain-lain. Maka biarpun kejahatan dan
aniaya itu telah merantai bangsa seluruhnya, tidaklah akan digugat orang, malah
dia tetap dipuja dan dihormati. Maka, dimanakah akan didapat keadilan itu,
seandainya nanti tidak ada mahkamah yang lebih tinggi, Mahkamah Allah di hari
kemudian?
Sebab itu, para pemikir dari zaman dahulu telah ada yang
sampai kepada kepercayaan tentang adanya hari akhirat itu, semata-mata dengan
jalan berpikir, antara lain Pitagoras. Filsuf ini berpendapat bahwa hidup di
dunia ini merupakan bekal hidup yang abadi di akhirat kelak. Sebab itu sejak
dari dunia hendaklah orang bersedia untuk hidup yang abadi. Sokrates, Plato dan
Aristoteles berpendapat, "Jiwa yang baik akan merasakan kenikmatan dan
kelezatan di akhirat, tetapi bukan kelezatan kebendaan, karena kelezatan
kebendaan itu terbatas dan mendatangkan bosan dan jemu. Hanya kelezatan rohani,
yang betapa pun banyak dan lamanya, tidak menyebabkan bosan dan jemu."
Kepercayaan Masyarakat Arab Sebelum Islam tentang Hari
Akhirat
Di antara masyarakat Arab sebelum Islam terdapat beberapa
pemikir dan pujangga yang telah mempercayai adanya hari kemudian, seperti
Zuhair bin Abi Sulma yang meninggal dunia setahun sebelum Nabi Muhammad saw
diutus Allah sebagai rasul.
Ada pula di antara mereka yang tidak mempercayai adanya hari
kemudian. Dengarlah apa yang dikatakan oleh salah seorang penyair mereka:
"Hidup, sesudah itu mati, sesudah itu dibangkitkan lagi, itulah cerita
dongeng, hai fulan." Karena itu, datanglah agama Islam, membawa kepastian
tentang adanya hari kemudian. Pada hari itu akan dihisab semua perbuatan yang
telah dikerjakan manusia selama hidupnya, besar atau kecil. Allah berfirman:
(7) Maka barang siapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah,
niscaya dia akan melihat (balasan)nya, (8) dan barang siapa mengerjakan
kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya.
(az-Zalzalah/99: 7-8)
Tidak sedikit ayat di dalam Al-Qur'an yang menjelaskan bahwa
di antara mereka memang banyak yang tidak percaya adanya hari akhirat; hidup
hanya di dunia, setelah itu selesai (al-An'am/6: 29 ; al-Mu'minun/23: 37).
Mereka berkata, bila seorang bapak mati, maka lahir anak, bila suatu bangsa
punah, maka datang bangsa lain. Mereka tidak percaya, bahwa sesudah mati manusia
masih akan hidup kembali (Hud/11: 7; al-Isra'/17: 49) dan banyak lagi ayat
senada yang menggambarkan pendirian demikian. Di dalam sejarah pemikiran
tercatat bahwa sejak dahulu kala banyak anggapan yang demikian itu.
sumber: kemenag.go.id
Posting Komentar untuk "Tafsir Dan Terjemah QS Al Fatihah Ayat 4"