Tafsir Dan Terjemah QS Al Fatihah Ayat 5
QS Al Fatihah Ayat 5
اِÙŠَّاكَ Ù†َعْبُدُ ÙˆَاِÙŠَّاكَ Ù†َسْتَعِÙŠْÙ†ُ
Iyyaaka na'budu wa
lyyaaka nasta'iin
Hanya kepada
Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan.
Tafsir
Atas dasar itu
semua, hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan beribadah dengan penuh
ketulusan, kekhusyukan, dan tawakal, dan hanya kepada Engkaulah kami memohon
pertolongan dalam segala urusan dan keadaan kami, sambil kami berusaha keras.
Di dalam ayat-ayat
sebelumnya disebutkan empat macam dari sifat-sifat Allah, yaitu: Pendidik
seluruh alam, Maha Pengasih, Maha Penyayang, dan Yang menguasai hari
pembalasan. Sifat-sifat yang disebutkan itu adalah sifat-sifat kesempurnaan
yang hanya Allah saja yang mempunyainya. Sebab itu pada ayat ini Allah
mengajarkan kepada hamba-Nya bahwa Allah sajalah yang patut disembah, dan
kepada-Nya sajalah seharusnya manusia memohon pertolongan, dan bahwa hamba-Nya
haruslah mengikrarkan yang demikian itu.
Iyyaka (hanya
kepada Engkau). Iyyaka adalah dhamir untuk orang kedua dalam kedudukan mansub
karena menjadi maf'ul bih (obyek). Dalam tata bahasa Arab maf'ul bih harus
sesudah fi'il dan fa'il. Jika mendahulukan yang seharusnya diucapkan kemudian
dalam Balagah menunjukkan qasr, yaitu pembatasan yang bisa diartikan
"hanya". Jadi arti ayat ini "Hanya kepada Engkau saja kami
menyembah, dan hanya kepada Engkau saja kami mohon pertolongan".
Iyyaka dalam ayat
ini diulang dua kali, gunanya untuk menegaskan bahwa ibadah dan isti'anah
(meminta pertolongan) itu masing-masing khusus dihadapkan kepada Allah serta
untuk dapat mencapai kelezatan munajat (berbicara) dengan Allah. Karena bagi
seorang hamba Allah yang menyembah dengan segenap jiwa dan raganya tak ada yang
lebih nikmat dan lezat perasaannya daripada bermunajat dengan Allah.
Baik juga diketahui
bahwa dengan memakai iyyaka itu berarti menghadapkan pembicaraan kepada Allah,
dengan maksud mengingat Allah swt, seakan-akan kita berada di hadapan-Nya, dan
kepada-Nya diarahkan pembicaraan dengan khusyuk dan tawaduk. Seakan-akan kita
berkata:
"Ya Allah,
dzat yang wajibul wujud, Yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, Yang
menjaga dan memelihara seluruh alam, Yang melimpahkan rahmat dan karunia-Nya
dengan berlipat ganda, Yang berkuasa di hari pembalasan, Engkau sajalah yang
kami sembah, dan kepada Engkau sajalah kami minta pertolongan, karena hanya
Engkau yang berhak disembah, dan hanya Engkau yang dapat menolong kami".
Dengan cara seperti
itu orang akan lebih khusyuk dalam menyembah Allah dan lebih tergambar
kepadanya kebesaran yang disembahnya itu. Inilah yang dimaksud oleh Rasulullah
dengan sabdanya:
"Engkau
menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya (Riwayat al-Bukhari dan Muslim
dari 'Umar bin al-Khatthab).
Karena surah
al-Fatihah mengandung ayat munajat (berbicara) dengan Allah menurut cara yang
telah diterangkan maka hal itu merupakan rahasia diwajibkan membacanya pada
tiap-tiap rakaat dalam salat, karena jiwanya ialah munajat, dengan menghadapkan
diri dan memusatkan ingatan kepada Allah.
Na'budu pada ayat
ini didahulukan menyebutkannya daripada nasta'inu, karena menyembah Allah
adalah suatu kewajiban manusia terhadap Tuhan-nya. Tetapi pertolongan dari
Allah kepada hamba-Nya adalah hak hamba itu. Maka Allah mengajar hamba-Nya agar
menunaikan kewajibannya lebih dahulu, sebelum ia menuntut haknya.
Melihat kata-kata
na'budu dan nasta'inu (kami menyembah, kami minta tolong), bukan a'budu dan
asta'inu (saya menyembah dan saya minta tolong) adalah untuk memperlihatkan
kelemahan manusia, tidak selayaknya manusia mengemukakan dirinya seorang saja
dalam menyembah dan memohon pertolongan kepada Allah. Seakan-akan penunaian
kewajiban beribadah dan permohonan pertolongan kepada Allah itu belum lagi
sempurna, kecuali kalau dikerjakan bersama-sama.
Kedudukan Tauhid di dalam Ibadah dan Sebaliknya
Ibadah secara
istilah ialah semua perkataan, perbuatan dan pikiran yang bertujuan untuk
mencari rida Allah. Arti "ibadah" sebagai disebutkan di atas ialah
tunduk dan berserah diri kepada Allah, yang disebabkan oleh kesadaran bahwa
Allah yang menciptakan alam ini, Yang menumbuhkan, Yang mengembangkan, Yang
menjaga dan memelihara serta Yang membawanya dari suatu keadaan kepada keadaan
yang lain, hingga tercapai kesempurnaannya.
Tegasnya, ibadah
itu timbulnya dari perasaan tauhid. Oleh karenanya, orang yang suka memikirkan
keadaan alam ini, yang memperhatikan perjalanan bintang-bintang, kehidupan
tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia, bahkan yang mau memperhatikan dirinya
sendiri, yakinlah dia bahwa di balik alam yang zahir ada Zat yang gaib yang
mengendalikan alam ini, yang bersifat dengan segala sifat kesempurnaan, yakni
Dialah Yang Mahakuasa, Maha Pengasih, Maha Mengetahui dan sebagainya. Maka
tumbuhlah dalam sanubarinya perasaan bersyukur dan berutang budi kepada Zat
Yang Mahakuasa, Maha Pengasih dan Maha Mengetahui itu.
Perasaan inilah
yang menggerakkan bibirnya untuk menuturkan puji-pujian, dan yang mendorong
jiwa dan raganya untuk menyembah dan merendahkan diri kepada Allah Yang
Mahakuasa itu sebagai pernyataan bersyukur dan membalas budi kepada-Nya. Tetapi
ada juga manusia yang tidak mau berpikir, dan selanjutnya tidak sadar akan
kebesaran dan kekuasaan Allah, sering melupakan-Nya. Sebab itulah, setiap agama
mensyariatkan bermacam-macam ibadah, gunanya untuk mengingatkan manusia kepada
kebesaran dan kekuasaan Allah. Dengan keterangan ini terlihat bahwa tauhid dan
ibadah itu saling mempengaruhi, dengan arti bahwa tauhid menumbuhkan ibadah,
dan ibadah memupuk tauhid.
Pengaruh Ibadah terhadap Jiwa Manusia
Tiap-tiap ibadah
yang dikerjakan karena didorong oleh perasaan yang disebutkan itu, niscaya
berpengaruh kepada tabiat dan budi pekerti orang yang melakukannya. Umpamanya,
orang yang melaksanakan salat karena sadar akan kebesaran dan kekuasaan Allah,
dan didorong oleh perasaan bersyukur dan berutang budi kepada-Nya, akan
terjauhlah dia dari perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Dengan demikian
salatnya itu akan mencegahnya dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak
baik itu, sesuai dengan firman Allah swt:
"Sesungguhnya
salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar." (al-'Ankabut/29:
45)
Begitu juga ibadah
puasa. Ibadah ini akan menimbulkan perasaan cinta dan kasih sayang terhadap
orang-orang miskin. Demikian pula seterusnya dengan ibadah-ibadah yang lain.
Ibadah yang sebenarnya adalah ibadah yang ditimbulkan oleh keyakinan kepada
kebesaran dan kekuasaan Allah, serta didorong oleh perasaan bersyukur kepada
Allah. Ibadah yang hanya karena ikut-ikutan, atau karena memelihara tradisi
yang sudah turun-temurun, bukanlah ibadah yang sebenarnya. Kendatipun
seakan-akan berupa ibadah, tetapi tidak mempunyai jiwa ibadah. Tidak ubahnya
seperti patung, bagaimanapun miripnya dengan manusia, tidaklah dinamai manusia.
Ibadah yang semacam itu tidak ada pengaruhnya kepada tabiat dan akhlak.
Berusaha, Berdoa dan Bertawakal
Isti'anah (memohon
pertolongan) seperti disebutkan di atas khusus dihadapkan kepada Allah, dengan
arti bahwa tidak ada yang berhak dimohonkan pertolongan kecuali Allah. Pada
ayat yang lain Allah menyuruh manusia untuk tolong-menolong dalam mengerjakan
kebaikan.
Allah berfirman:
"Dan tolong
menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa". (al-Ma'idah/5:
2)
Adakah Pertentangan
antara Dua Ayat itu?
Tercapainya suatu
maksud, atau terlaksananya suatu pekerjaan dengan baik, tergantung kepada
terpenuhinya syarat-syarat yang dibutuhkan dalam melaksanakan pekerjaan itu,
dan tidak adanya rintangan-rintangan yang menghalanginya. Manusia telah diberi
potensi oleh Allah, baik berupa pikiran maupun kekuatan tubuh, agar bisa
mencukupkan syarat-syarat atau menolak rintangan-rintangan dalam menuju suatu
maksud, atau mengerjakan suatu pekerjaan. Tetapi, ada di antara syarat-syarat
itu yang manusia tidak kuasa mencukupkannya. Di samping itu, ada juga rintangan
yang tidak mampu ditolaknya. Begitu pula ada di antara syarat-syarat itu atau
di antara halangan-halangan itu yang tidak dapat diketahui.
Kendatipun menurut
pikiran semua syarat yang diperlukan telah cukup, dan semua rintangan yang
menghalangi telah berhasil diatasi, tetapi kadang-kadang hasil pekerjaan tidak
seperti yang diharapkan. Ada hal-hal yang berada di luar batas kekuasaan dan
kemampuan manusia. Itulah yang dimintakan pertolongan khusus kepada Allah. Sebaiknya,
sesuatu yang masih dalam batas kekuasaan dan kemampuan, manusia disuruh tolong
menolong, agar timbul pada masing-masing individu sifat saling mencintai,
menghargai, dan gotong-royong.
Dengan perkataan
lain, manusia disuruh Allah berusaha dengan sekuat tenaga, dan disuruh saling
menolong, dan membantu. Di samping menjalankan ikhtiar dan usaha, dia harus
pula berdoa, memohon taufik, hidayah dan ma'unah. Ini hendaknya dimohonkan
khusus kepada Allah, karena hanya Dia yang kuasa memberinya. Sesudah itu semua,
barulah dia bertawakal kepada-Nya.
Ibadah itu sendiri
pun suatu pekerjaan yang berat, sebab itu haruslah dimintakan ma'unah dari
Allah agar semua ibadah terlaksana sesuai dengan yang dimaksud oleh agama. Oleh
karena itu, seseorang hendaknya menuturkan bahwa hanya kepada Allah sajalah
kita beribadah, diikuti lagi dengan pernyataan bahwa kepada-Nya saja minta
pertolongan, terutama pertolongan agar amal ibadah terlaksana sebagaimana
mestinya. Ayat di atas, sebagaimana telah disebutkan, mengandung tauhid, karena
beribadah semata-mata kepada Allah dan meminta ma'unah khusus kepada-Nya,
adalah intisari agama, dan kesempurnaan tauhid.
sumber:
kemenag.go.id
Posting Komentar untuk "Tafsir Dan Terjemah QS Al Fatihah Ayat 5"