Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Hukum Asuransi Jiwa, Ini Keputusan Muktamar NU Ke 14 Tahun 1939

asuransi jiwa terbaik, pengertian asuransi jiwa dan contohnya, asuransi jiwa prudential, asuransi jiwa terbaik di indonesia, asuransi jiwa bri, premi asuransi jiwa, asuransi jiwa berapa, asuransi jiwa murni

tintasantri.com - Dalam postingan ini, Ngadmin akan sedikit membahas tentang Hukum Asuransi Jiwa yang cukup penting bagi kita untuk diketahui. simak pembahasan tentang Hukum Asuransi Jiwa ini sampai tuntas.

Asuransi adalah suatu akad yang mengharuskan perusahaan asuransi (muammin) untuk memberikan sejumlah harta kepada nasabah atau kliennya (muamman) ketika terjadi musibah seperti kecelakaan, kebakaran atau lainnya sebagaimana disepakati dalam akad (transaksi). Dalam akad asuransi, nasabah membayarkan secara rutin dan berkala atau secara kontan kepada perusahaan asuransi di saat hidupnya. Sementara Perusahaan pada saatnya akan memberikan imbalan berupa uang atau ganti rugi barang. Singkatnya, asuransi merupakan salah satu cara pembayaran ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, yang dananya diambil dari iuran premi seluruh peserta asuransi.

Forum Bahtsul Masa’il (BM) pada Muktamar Ke-14 Nahdlatul Ulama di Magelang pada 14 Jumadil Ula 1358 H atau 1 Juli 1939 M mengharamkan akad asuransi tersebut, baik dalam bentuk harta maupun jiwa. Asuransi rumah, misalnya, disepakati merupakan transaksi judi. Para ulama mengambil keterangan dari Kitab al-Nahdlatul Islamiyah, halaman 471-472, bahwa asuransi menyerupai pemberian kupon “Ya Nashib..!” dimana seseorang yang membelinya selama hidupnya menunggu tanpa memperoleh kemenangan. Nasabah dijanjikan memperolah jaminan rumah jika terbakar. Jaminan ini memang disukai barangkali karena bila pemiliknya meningal atau terjadi kebakaran pada rumahnya maka ia memperoleh uang sebesar jaminan yang telah ditetapkan. Sementara selama menempati rumah tersebut ia harus membayar premi yang ditetapkan pihak perusahaan asuransi. Dikatakan, itu jelas merupakan judi murni karena dua pihak yang telah melakukan transaksi pada dasarnya masing-masing tidak mengetahui siapakah diantara mereka yang memeperoleh keuntungan, sampai uang yang disepakati oleh keduanya diberikan.

Mengingat akad asuransi sudah mulai membudaya, pada Konferensi Besar Pengurus Syuriah NU ke-1 di Jakarta, 21-25 Syawal 1379 H 18-22 April 1960, ditegaskan kembali keharaman akad asuransi tersebut, terutama berkenaan dengan jiwa. Majelis Musyawarah memutuskan seperti yang sudah diputuskan oleh Muktamar NU ke-14, yakni mengasuransikan jiwa atau lainnya di kantor asuransi itu haram hukumnya, karena termasuk judi. Para ulama mengambil ibarat dari Syeikh Bakhit, seorang Mufti Mesir, dalam Ahkamul Fuqaha II , yang sempat diterbitkan dalam majalah Nurul Islam, Nomor VI, Jilid I halaman 367 berikut ini: Asuransi jiwa itu jauh dari akal sehat dan menimbulkan kekaguman yang hebat. Tidak ada perusakan yang mampu memperpanjang umur dan menjauhkan takdir. Ia hanya memberikan iming-iming dengan keamanan serupa dengan yang dilakukan oleh para Dajjal. Para petugas mereka akan berkata kepada Anda sama seperti penyataan yang telah disebutkan dalam pembahasan tentang asuransi harta benda atau pernyataan yang sejenisnya. Ia akan berkata: “Sesungguhnya ketika aku membayar satu premi, jika aku mendadak meninggal, maka aku berhak atas warisanku yang telah aku jaminkan ketika aku masih hidup. Dan itu berarti membantu meringankan kepada ahli waris setelah kepergianku. Dan jika aku tetap hidup dalam tempo yang telah ditetapkan maka aku berhak memperoleh kembali semua yang telah dibayarkan beserta keuntungannya. Dengan demikian, maka aku beruntung dalam dua hal tersebut (mati dan hidup).” “Demikian halnya perusahaan asuransi berhak mengelola keuangan yang dihimpun dariku dan dari orang lain sehingga menjadi modal yang besar sebagaimana yang Anda lihat berbentuk proyek-proyek niaga. Risiko kerugian sangat sedikit; karena masing-masing orang sangat menjaga hidup dan hartanya, dan akan berusaha semampunya. Masing-masing akan berkarya bagi kepentingan dirinya, sehingga masing-masing pihak beruntung.” Para ulama menyatakan bahwa setiap yang diucapkan dalam akad asuransi mengandung klaim denda terhadap satu pihak secara wajib tanpa suatu kepastian mengenai pengganti yang sepadan. Padahal dalam Islam hendaknya ada kesesuaian pengganti dari masing-masing pihak yang bertransaksi agar dapat mewujudkan keadilan, walaupun itu relatif. Jika salah satu pihak saja yang me!akukan klaim denda wajib tanpa memberikan keuntungan kepada yang lain maka tidak ada keadilan di sini, dan itu merupakan judi. Sesungguhnya salah satu diantara mereka, entah pihak perusahaan asuransi atau nasabah, mempunyai keinginan untuk menundukkan orang lain. Para ulama menilai akad asuransi lebih besar bahayanya dari pada manfaatnya. 

Mengutip Syeikh Bakhit, dikatakan, perundang-undangan Allah SWT yang benar itu mesti berpedoman pada adanya keseimbangan antara manfaat dan mudharat. Jika manfaamya lebih besar, maka Allah akan menghalalkannya. Sedangkan jika maharatnya lebih besar, maka Allah akan mengharamkannya. Baru pada Munas Alim Ulama Lampung, 1992,  asuransi harta (kerugian) dan jiwa diperbolehkan, itu pun dengan syarat yang sangat ketat. Asuransi kerugian hanya diperbolehkan bagi obyek-obyek yang menjadi agunan bank; dan atau ketika asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari karena terkait oleh ketentuan-ketentuan pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang diimpor dan diekspor. Asuransi jiwa hukumnya haram kecuali apabila memenuhi ketentuan bahwa asuransi jiwa tersebut mengandung unsur saving (tabungan). Pada waktu menyerahkan uang premi, pihak tertanggung beniat untuk menabung untungnya pada pihak penanggung (perusahaan asuransi). Sementara pihak penanggung bemiat menyimpan uang tabungan milik pihak tertanggung dengan cara-cara yang dibenarkan/dihalalkan oleh syariat agama Islam.

Pada Munas yang sama para ulama secara mutlak membolehkan praktik ”asuransi sosial” dalam pengertian asuransi yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, seperti asuransi kecelakaan lalu lintas (jasa raharja), asuransi TASPEN, ASTEK. ASKES, ASABRI. Asuransi sosial dapat bersifat asuransi kerugian (harta) dan asuransi jiwa.

Itulah sekilas pembahasan tentang Hukum Asuransi Jiwa, semoga postingan Ngadmin tentang Hukum Asuransi Jiwa ini bisa bermanfaat. Amin

TAG

"Keyword"

"asuransi jiwa terbaik"

"pengertian asuransi jiwa dan contohnya"

"asuransi jiwa prudential"

"asuransi jiwa terbaik di indonesia"

"asuransi jiwa bri"

"premi asuransi jiwa"

"asuransi jiwa berapa"

"asuransi jiwa murni"

Posting Komentar untuk "Tentang Hukum Asuransi Jiwa, Ini Keputusan Muktamar NU Ke 14 Tahun 1939"