Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

SEPUTAR TAQLID



Taqlid adalah mengikuti pendapat mujtahid tanpa mengetahui landasan hukum yang dipakai oleh mujtahid tersebut.

 

Syarat – Syarat Taqlid

1.      Orang yang taqlid (muqollid) harus mengetahui syarat-syarat dan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh orang yang diikuti (muqollad) dalam permasalahan yang menjadi obyek taqlid.Jika ada seorang penganut madzhab Syafi’i bertaqlid kepada Imam Malik dalam permasalahan tidak batalnya wudlu disebabkan al-lams (persentuhan lawan jenis) dengan tanpa adanya qoshd al-ladzdzah dan wujud al-ladzdzahmaka taqlidnya dianggap tidak sah kecuali jika dia sudah mengetahui dan melaksanakan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan Imam Malik dalam permasalahan wudlu seperti mengusap seluruh bagian kepala, menggosok, muwalah dan sebagainya.

2.      Taqlid tidak dilakukan dalam persoalan yang sudah terjadi. Jika ada seseorang melakukan suatu ibadah yang masih diperselisihkan keabsahannya tanpa taqlid kepada ulama’ yang menyatakan keabsahannya, maka orang tersebut diharuskan mengulangi ibadah yang dilakukan tersebut karena kecerobohannya dalam melaksanakan ibadah tersebut. Dari alasan ini dapat disimpulkan bahwa orang tersebut ketika melaksanakan ibadah telah mengetahui bahwa ibadahnya tidak sah karena dari situlah dia dianggap ceroboh. Hal ini mengecualikan seseorang yang memegang alat kelaminnya lalu lupa atau tidak mengetahui hukum akibat memegang alat kelamin dalam lingkup madzhabnya dan ketidaktahuannya termasuk yang ditolerir (ma'dzûr) kemudian melaksanakan sholat. Maka dia diperbolehkan taqlid kepada Imam Abu Hanifah guna menggugurkan kewajiban qadla’.

3.      Muqollid tidak mengambil hal-hal yang mudah saja sehingga menyebabkan dia keluar dari bebanhukum.Contohnya, seseorang tidak menemukan air dan debu ketika waktu hampir habis. Ia hanya menemukan sebuah batu besar yang suci. Kemudia ia meninggalkan tayammumdengan bertaqlid kepada Imam Syâfi'i yang tidak memperbolehkan tayammum dengan selain batu yang suci. Selanjutnya ia tidak mengqadla'i shalatnya dengan bertaqlid kepada Imam Malik yang berpenadapat orang yang tidak menemukan air, debu, atau batu yang dapat dipergunakan tayammum maka shalatnya gugur dan tidak wajib menqadla'i. Orang tersebut dianggap telah keluar daritaklif melaksanakan shalat.

4.      Muqollad adalah seorang mujtahid meskipun hanya mujtahid fatwa seperti Imam ar-Rofi’i, Imam an-Nawawi, Imam ar-Romli dan Imam Ibnu Hajar selama tidak dinyatakan pendapat imam tersebut sangat lemah. Begitu pula tidak diperbolehkan taqlid kepada seorang imam dalam pendapat yang telah dicabutnya selama tidak ada ulama’ pengikut madzhabnya yang memilih pendapat tersebut berdasarkan dalil yang telah dikaji dari kaidah-kaidah dasar imamnya.

5.      Tidak bertalfîq, dalam arti tidak mencampuradukkan antara dua pendapat dalam satu qodliyah (permasalahan) yang dari dua pendapat itu memunculkan satu amaliyah yang tidak pernah dikatakan oleh dua orang yang mempunyai pendapat tersebut. Contohnya seseorang berwudlu dengan mengusap sebagian kepalanya lalu menyentuh kulit wanita bukan mahram kemudian sholat karena taqlid kepada Imam Malik yang berpendapat bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu dan taqlid kepada Imam Syafi’i yang mencukupkan wudlu dengan hanyamengusap sebagian kepala. Maka shalat dan wudlu orang tersebut tidak sah menurut kesepakatan dua Imam tersebut, sebab Imam Syafi’i meskipun menganggap cukup wudlu dengan hanya mengusap sebagian kepala namun beliau berpendapat bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah membatalkan wudlu. sedangkan Imam Malik meskipun berpendapat bahwa menyentuh wanita ajnabiyyah tidak membatalkan wudlu namun beliau berpendapat bahwa berwudlu dengan hanya mengusap sebagian kepala tidak sah.

 

 

Posting Komentar untuk "SEPUTAR TAQLID"